Generasi Z dan Milenial Terancam Kemiskinan Akibat Fenomena Doom Spending

25 September 2024 10:21
Penulis: Alamsyah, lifestyle
Doom spending terjadi ketika seseorang berbelanja tanpa berpikir secara logis, sering kali sebagai cara untuk meredakan kecemasan terkait ketidakpastian ekonomi dan masa depan.

Sahabat.com - Generasi Z dan milenial diprediksi akan mengalami penurunan kesejahteraan dibandingkan generasi sebelumnya, salah satunya disebabkan oleh tren "doom spending" atau pengeluaran berlebihan yang irasional. 

Menurut Psychology Today, Doom spending terjadi ketika seseorang berbelanja tanpa berpikir secara logis, sering kali sebagai cara untuk meredakan kecemasan terkait ketidakpastian ekonomi dan masa depan.

Ylva Baeckström, seorang dosen senior di King's Business School, menyatakan bahwa kebiasaan ini bisa sangat berbahaya dan fatalistik.

"Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa generasi muda selalu terhubung secara online, yang membuat mereka terus-menerus dibanjiri berita negatif, hingga merasa seperti berada di ambang 'akhir zaman'," ujar Baeckström.

Ia menambahkan bahwa perasaan pesimistis ini kemudian diterjemahkan ke dalam pola belanja yang buruk, sehingga membuat generasi muda semakin rentan secara finansial. Menurut Baeckström, generasi Z dan milenial diprediksi akan mengalami kondisi ekonomi yang lebih buruk dibandingkan generasi sebelumnya.

"Generasi saat ini kemungkinan akan menjadi yang pertama dalam waktu lama yang lebih miskin dari orang tua mereka. Ada kekhawatiran bahwa pencapaian yang pernah diraih oleh orang tua mereka mungkin tak lagi dapat dicapai," tambahnya.

Pandangan ini sejalan dengan temuan Survei Keamanan Finansial Internasional CNBC, yang dilakukan bersama Survey Monkey kepada 4.342 responden di berbagai negara. Survei tersebut menemukan bahwa hanya 36,5 persen dari responden merasa mereka lebih baik secara finansial dibandingkan orang tua mereka, sedangkan 42,8 persen merasa sebaliknya.

Fenomena doom spending juga terungkap dalam survei Intuit Credit Karma yang melibatkan lebih dari 1.000 warga Amerika pada November 2023. Sebanyak 96 persen responden mengaku cemas terhadap kondisi ekonomi saat ini, dengan lebih dari seperempat dari mereka menggunakan uang untuk mengatasi stres.

Stefania Troncoso Fernández, seorang pekerja humas berusia 28 tahun yang tinggal di Kolombia, menyatakan bahwa dirinya sudah berusaha pulih dari kebiasaan belanja berlebihan. Namun, inflasi yang tinggi dan ketidakpastian politik membuatnya sulit menabung.

"Saya tahu betul bahwa harga makanan terus naik, dan keluarga kami tidak lagi mampu membeli bahan makanan seperti tahun-tahun sebelumnya karena kenaikan harga yang signifikan," ujarnya.

Dua tahun lalu, Fernández mengakui bahwa ia sering menghabiskan uang untuk hal-hal yang kurang penting, seperti pakaian dan perjalanan, meski penghasilannya saat itu lebih kecil dibandingkan sekarang. Hal ini disebabkan perasaannya bahwa membeli rumah adalah hal yang tidak mungkin tercapai.

Ia juga menegaskan bahwa fenomena ini bukan hanya dialaminya sendiri. "Bukan hanya saya. Ini juga terjadi di lingkungan sekitar saya," katanya.

Di sisi lain, Daivik Goel, seorang pengusaha muda berusia 25 tahun di Silicon Valley, mengaku bahwa dirinya juga terjebak dalam perilaku doom spending saat bekerja di perusahaan rintisan. Ia mengatakan, kebiasaan ini muncul akibat ketidakpuasan terhadap pekerjaannya dan tekanan sosial dari teman-teman sebayanya.

"Semua ini hanya pelarian," ungkapnya.

Samantha Rosenberg, salah satu pendiri platform pembangun kekayaan Belong, menambahkan bahwa belanja daring memperburuk kecenderungan doom spending, namun melihat produk secara langsung dapat membantu mengurangi dorongan belanja impulsif.

"Langkah-langkah tambahan seperti memilih toko, melihat barang secara langsung, hingga antre untuk membayar, dapat memperlambat proses pengambilan keputusan, sehingga kita lebih kritis sebelum membeli sesuatu," sarannya.

Rosenberg juga menyarankan penggunaan uang tunai sebagai cara untuk mengendalikan pengeluaran. Pembayaran digital seperti Apple Pay dan Google Pay, katanya, cenderung membuat orang lebih mudah berbelanja secara impulsif karena transaksi dilakukan dengan cepat tanpa pemikiran mendalam.

"Metode ini mengabaikan perasaan saat kita mengambil keputusan untuk membeli, serta menghilangkan rasa 'sakit' karena harus mengeluarkan uang. Dengan uang tunai, rasa tanggung jawab dalam pengeluaran akan lebih terasa," jelasnya.

0 Komentar

Berita Terkait

Leave a comment