Remaja Mendiagnosis Diri Sendiri Melalui Konten TikTok: Penelitian Ungkap Faktor Psikologis di Baliknya

21 Oktober 2024 14:54
Penulis: Alamsyah, lifestyle
Dengan meningkatnya penerimaan dan kesadaran terhadap masalah kesehatan mental, penelitian ini menggarisbawahi pentingnya memahami faktor-faktor yang mendorong diagnosis mandiri di kalangan remaja dan kebutuhan akan penelitian lebih lanjut yang melibatkan perspektif remaja, orang tua, dan tenaga pendidik.

Sahabat.com - Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan fenomena yang semakin berkembang di kalangan remaja, di mana mereka mendiagnosis kondisi kesehatan mental mereka sendiri setelah terpapar konten di TikTok. Penelitian ini, yang diterbitkan dalam Educational Psychology in Practice, menyoroti faktor psikologis seperti identitas dan kepemilikan yang berperan dalam tren ini.

Sejak 2021, TikTok, platform media sosial dengan 1,7 miliar pengguna, menjadi sorotan karena banyak remaja menggunakan kontennya untuk melakukan diagnosis mandiri. Praktik ini mengacu pada proses di mana individu mengidentifikasi kondisi kesehatan mental tanpa bantuan profesional. 

Para peneliti menemukan bahwa konten di TikTok, terutama yang terkait dengan gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (ADHD) dan autisme, memiliki dampak signifikan terhadap diagnosis diri. Algoritme yang digunakan oleh platform ini mempersonalisasi konten, menciptakan ruang gema yang dapat memperkuat keyakinan pengguna melalui bias konfirmasi.

Namun, keakuratan konten mengenai kesehatan mental di media sosial sangat bervariasi. Banyak video yang menyebarkan informasi salah, yang dapat menyesatkan pengguna dan meromantisasi neurodiversitas, sehingga mengabaikan tantangan nyata yang dihadapi individu.

Penelitian ini juga menyoroti hambatan sistemik yang menghalangi akses remaja ke dukungan kesehatan mental yang tepat. Di Inggris, misalnya, daftar tunggu untuk diagnosis ADHD dan autisme dapat mencapai dua tahun. Di Amerika Serikat, anak-anak kulit hitam sering kali menerima diagnosis yang salah, sementara anak perempuan lebih lambat didiagnosis dibandingkan anak laki-laki.

Selain itu, remaja sering kali merasa tidak percaya terhadap layanan kesehatan dan takut akan stigma, yang dapat menghalangi mereka untuk mencari bantuan. Para peneliti menekankan perlunya kehadiran lebih banyak profesional terakreditasi di platform media sosial untuk melawan misinformasi dan memberikan dukungan yang diperlukan bagi kaum muda.

Dengan meningkatnya penerimaan dan kesadaran terhadap masalah kesehatan mental, penelitian ini menggarisbawahi pentingnya memahami faktor-faktor yang mendorong diagnosis mandiri di kalangan remaja dan kebutuhan akan penelitian lebih lanjut yang melibatkan perspektif remaja, orang tua, dan tenaga pendidik.
 

0 Komentar

Berita Terkait

Leave a comment