Sahabat.com - Sebuah penelitian baru menemukan bahwa stres kronis dapat meningkatkan risiko stroke pada orang dewasa muda, namun hanya pada wanita.
Para peneliti menduga hal ini disebabkan oleh fakta bahwa wanita seringkali menghadapi lebih banyak stres akibat harus membagi waktu antara pekerjaan, merawat keluarga, dan tanggung jawab lainnya.
Meskipun stres tidak secara langsung menyebabkan stroke, para ahli mengatakan bahwa stres dapat berkontribusi pada tekanan darah tinggi, peradangan, dan kebiasaan gaya hidup yang meningkatkan risiko stroke.
Penelitian yang dipublikasikan pada 5 Maret di jurnal Neurology mengungkapkan hubungan antara tingkat stres yang tinggi dan peningkatan risiko stroke pada orang berusia 18 hingga 49 tahun—namun hanya pada wanita.
Peneliti tidak menemukan hubungan antara stres dan risiko stroke pada pria.
Penelitian Menemukan Kaitan Stres dengan Risiko Stroke pada Wanita
Para ilmuwan ingin lebih memahami hubungan antara stres dan stroke iskemik yang muncul lebih awal, yaitu jenis stroke yang paling umum, yang terjadi ketika aliran darah ke otak terhenti akibat penyumbatan.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan beberapa faktor risiko stroke pada orang muda, termasuk faktor risiko “tradisional” seperti hipertensi dan konsumsi alkohol, serta faktor risiko yang kurang terdokumentasi seperti stres, seperti yang dijelaskan oleh penulis studi.
Untuk menggali lebih dalam hubungan antara stres dan stroke, para peneliti merekrut 426 orang berusia 18 hingga 49 tahun, yang semuanya pernah mengalami stroke iskemik, dengan sekitar setengah dari mereka adalah wanita.
Tim juga melibatkan 426 individu lain yang tidak pernah mengalami stroke, namun memiliki usia dan jenis kelamin yang sama dengan kelompok pertama.
Semua peserta mengisi kuesioner mengenai tingkat stres mereka dalam satu bulan, dan kelompok yang mengalami stroke juga menjawab pertanyaan tambahan mengenai tingkat stres mereka sebelum stroke terjadi.
Survei menunjukkan bahwa mereka yang mengalami stroke melaporkan tingkat stres yang jauh lebih tinggi. Dari kelompok yang mengalami stroke, 46% melaporkan tingkat stres moderat hingga tinggi, dibandingkan hanya 33% dari mereka yang tidak mengalami stroke.
Pada wanita, mereka yang mengalami stres moderat memiliki peningkatan risiko stroke sebesar 78%, sementara stres tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke sebesar 6%. Peneliti tidak menemukan hubungan antara tingkat stres pria dan risiko stroke.
Hubungan Stres dengan Sistem Kardiovaskular dan Stroke
Ada beberapa teori utama yang menjelaskan mengapa stres dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular.
“Potensi hubungan antara stres dan stroke bisa meliputi lonjakan tekanan darah jangka pendek yang sering, aritmia jantung terkait stres, dan peradangan kronis,” kata Nicolas Martinez-Majander, MD, PhD, seorang ahli saraf dan peneliti di Rumah Sakit Universitas Helsinki di Finlandia.
Selain itu, orang yang stres cenderung lebih banyak terlibat dalam kegiatan yang merusak jantung dan meningkatkan risiko stroke, seperti merokok, kurang bergerak, pola makan buruk, dan penggunaan zat, tambahnya.
Meskipun stres mungkin tidak langsung memicu stroke, Lauren Patrick, MD, seorang asisten profesor neurologi dan ahli saraf vaskular di Universitas California San Francisco, mengatakan bahwa “stres berkontribusi pada serangkaian perubahan fisiologis yang meningkatkan risiko stroke.”
Mengapa Stres Lebih Berdampak pada Wanita?
Meskipun penelitian ini tidak menemukan hubungan antara stres dan risiko stroke pada pria, penelitian sebelumnya telah mengidentifikasi hubungan antara stres dan stroke pada pria secara umum.
Mengapa hubungan ini lebih jelas terlihat pada wanita dalam penelitian ini?
“Mungkin lebih kuat pada wanita karena mereka sering melaporkan mengalami lebih banyak stres kronis akibat menjalani banyak peran, seperti bekerja, merawat keluarga, dan merawat orang lain,” ujar Martinez-Majander.
Christina Mijalski, MD, seorang ahli saraf vaskular dari Stanford Medicine, setuju dengan hal ini.
“Ini adalah sesuatu yang perlu kita perhatikan sebagai masyarakat dan memberikan dukungan tambahan dalam hal sumber daya perawatan anak dan kesehatan, yang sering tertinggal,” katanya.
Kemungkinan lainnya adalah bahwa pria mungkin lebih cenderung tidak melaporkan tingkat stres mereka dibandingkan wanita.
Penelitian menunjukkan bahwa wanita lebih cenderung melaporkan gejala kesehatan mental somatik, seperti stres, dibandingkan pria.
Cara Mengelola Stres dan Melindungi Kesehatan Jantung
Martinez-Majander berharap temuan ini dapat mendorong orang untuk memantau tingkat stres mereka. Meskipun tidak mungkin untuk menghilangkan semua stres dalam hidup, mengelola stres tetap penting karena dapat menjadi faktor risiko stroke, bahkan pada orang muda.
Langkah pertama adalah memantau diri Anda untuk tanda-tanda stres, seperti kecemasan berkelanjutan, kesulitan tidur, sakit kepala berulang, tekanan darah tinggi, dan perasaan kelelahan. Anda juga mungkin merasa ada perubahan nafsu makan, kesulitan berkonsentrasi, masalah perut, atau nyeri tubuh, menurut CDC.
Jika Anda sering mengalami gejala-gejala ini, penting untuk mengetahui tanda-tanda peringatan stroke. Waspadai gejala seperti mati rasa atau kelemahan mendadak, kesulitan berbicara, kesulitan berjalan, pusing, perubahan penglihatan, atau sakit kepala hebat.
Patrick mengatakan, “Stres dapat memperburuk faktor risiko yang mendasarinya, menjadikan pengenalan dini gejala stroke penting untuk penanganan yang tepat waktu.”
Jika Anda merasa tidak yakin bagaimana stres memengaruhi kesehatan Anda, berkonsultasilah dengan dokter utama Anda. Mereka dapat membantu Anda mengidentifikasi faktor risiko fisiologis, seperti hipertensi dan diabetes, serta membantu Anda mengelola stres psikososial dan mental.
0 Komentar
Dampak Scrolling Media Sosial pada Tubuh
Hipotermia pada Pendaki: Gejala, Penyebab, dan Cara Penanganannya
Dampak Kegemukan pada Kesehatan Remaja
Makanan yang Mempercepat Penuaan Biologis
7 Kebiasaan yang Membantu Menunda Penuaan, Menurut Psikologi
Leave a comment