Anak Sering Cemas ke Sekolah? Begini Cara Efektif yang Disarankan Ahli

18 September 2025 17:42
Penulis: Alamsyah, lifestyle
Menurut para ahli, tanda-tanda kecemasan anak perlu diperhatikan ketika berlangsung lama, mengganggu aktivitas sehari-hari, membuat anak menghindar dari banyak hal, hingga tidak kunjung membaik meski orang tua sudah berusaha menenangkan.

Sahabat.com - Melihat anak enggan berangkat ke sekolah, sering sakit perut mendadak, atau rewel di depan gerbang sekolah bisa membuat orang tua panik. 

Kecemasan pada anak memang nyata dan berbeda dengan orang dewasa. Jika orang dewasa bisa berkata, “Aku sedang cemas,” anak-anak justru menunjukkan lewat tubuh dan perilaku. 

Mulai dari sakit kepala, susah tidur, gelisah berlebihan, hingga tantrum ketika menghadapi situasi tertentu.

Seorang ibu menggambarkan kecemasan anaknya yang berusia 8 tahun seperti “bersiap menghadapi bencana yang tidak pernah terjadi.” 

Putrinya bisa menghabiskan waktu berjam-jam membayangkan skenario buruk hanya untuk sebuah presentasi kelas, hingga kelelahan sendiri.

Menurut para ahli, tanda-tanda kecemasan anak perlu diperhatikan ketika berlangsung lama, mengganggu aktivitas sehari-hari, membuat anak menghindar dari banyak hal, hingga tidak kunjung membaik meski orang tua sudah berusaha menenangkan. 

Psikoterapi bisa menjadi solusi, bukan tanda orang tua gagal. Seperti kacamata yang membantu anak melihat lebih jelas, terapi membantu anak memahami pikiran dan perasaannya dengan lebih sehat.

Salah satu metode yang paling efektif adalah cognitive behavioral therapy (CBT). Terapi ini mengajak anak mengenali pikiran cemas, menantangnya, lalu menggantinya dengan cara berpikir yang lebih realistis. 

Judith Beck, presiden Beck Institute for Cognitive Behavior Therapy, menjelaskan, “Kami membantu anak mencari bukti apakah pikirannya benar atau hanya ketakutan yang tidak akurat, lalu melatih strategi menghadapinya.”

Bentuk terapi lain yang juga membantu adalah play therapy. Lewat permainan, anak bisa menyalurkan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Dari permainan dengan boneka hingga seni gambar, terapis dapat memahami isi hati anak dan melatihnya mengelola rasa takut. Ada pula exposure therapy, di mana anak dilatih menghadapi ketakutannya secara bertahap, serta acceptance and commitment therapy (ACT) yang mengajarkan anak menerima perasaan sulit tanpa harus melawannya.

Tidak kalah penting, keluarga juga bisa ikut serta lewat family therapy. Dengan cara ini, orang tua belajar mengubah pola interaksi yang tanpa sadar justru memperkuat kecemasan anak. 

Seorang ayah menceritakan setelah putrinya menjalani terapi sosial, “Kami tidak menghapus rasa cemas dari hidupnya. Tapi kini dia bisa berdamai dengan rasa takut dan tetap melakukan hal yang ia sukai. Itu bukan sekadar bertahan, melainkan tumbuh.”

Meski awalnya anak mungkin menolak ikut terapi, orang tua bisa menjelaskan bahwa terapi bukan hukuman, melainkan cara agar mereka merasa lebih berani. Memberi pilihan waktu, membiarkan mereka membawa benda kesayangan, atau menjelaskan bahwa banyak anak juga ke terapis bisa membantu.

Dalam kasus tertentu, bila kecemasan sudah sangat mengganggu hingga anak sulit tidur, menolak makan, atau bahkan tidak mau sekolah sama sekali, dokter spesialis anak atau psikiater bisa merekomendasikan kombinasi terapi dengan obat. Namun keputusan ini tentu harus melalui konsultasi medis yang tepat.

Kabar baiknya, dengan terapi yang sesuai, sebagian besar anak bisa menunjukkan kemajuan signifikan. Lebih dari sekadar mengurangi gejala, terapi membekali anak dengan keterampilan hidup yang akan mereka bawa hingga dewasa: kemampuan untuk berani meminta bantuan dan melangkah maju meski rasa takut ada di dalam diri.

0 Komentar

Berita Terkait

Leave a comment