Ternyata Cara Jalan Bisa Ungkap Tanda Awal Autisme, Ini Penjelasannya!

16 Juli 2025 13:38
Penulis: Alamsyah, lifestyle
Nah, kalau kamu pernah melihat seseorang yang berjalan jinjit (toe-walking), kakinya mengarah ke dalam (in-toeing), atau malah mengarah ke luar (out-toeing), itu bisa menjadi bagian dari pola jalan yang umum ditemukan pada orang autis.

Sahabat.com - Sahabat, tahukah kamu kalau cara seseorang berjalan bisa jadi petunjuk awal adanya autisme? 

Yap, hal ini bukan sekadar kebiasaan unik, tapi bisa jadi tanda penting yang sering luput diperhatikan. 

Autisme sendiri adalah kondisi neurodevelopmental yang memengaruhi perkembangan dan fungsi otak, sehingga berdampak pada perilaku, komunikasi, dan cara bersosialisasi seseorang. 

Tapi bukan cuma itu saja, ternyata autisme juga bisa terlihat dari cara seseorang bergerak, termasuk gaya jalannya—yang dalam dunia medis disebut “gait”.

Nah, kalau kamu pernah melihat seseorang yang berjalan jinjit (toe-walking), kakinya mengarah ke dalam (in-toeing), atau malah mengarah ke luar (out-toeing), itu bisa menjadi bagian dari pola jalan yang umum ditemukan pada orang autis. 

Bahkan, dalam buku panduan resmi diagnosis gangguan mental (DSM), gaya jalan yang "berbeda" ini sekarang masuk sebagai fitur pendukung untuk mendeteksi autisme.

Nggak hanya itu, para peneliti selama 30 tahun terakhir juga menemukan bahwa orang dengan autisme cenderung berjalan lebih pelan, melangkah lebih lebar, dan butuh waktu lebih lama dalam setiap fase langkah. Mereka juga punya variasi yang lebih besar dalam panjang dan kecepatan langkahnya dibandingkan orang neurotipikal. Jadi, bisa dibilang setiap langkah mereka punya irama yang unik.

Tapi kenapa bisa begitu ya? Ini berkaitan dengan perkembangan otak, terutama di bagian yang disebut basal ganglia dan cerebellum. Dua area otak ini bertugas mengatur gerakan, postur tubuh, dan koordinasi secara keseluruhan. Kalau ada perbedaan dalam struktur, fungsi, atau koneksi antar bagian otak ini, gaya jalan pun ikut terpengaruh. 

Awalnya banyak yang mengira ini cuma masalah keterlambatan perkembangan, tapi kini sudah jelas bahwa perbedaan ini tetap ada hingga dewasa, dan justru bisa semakin terlihat seiring bertambahnya usia.

Tentunya, setiap orang autis punya kondisi yang berbeda-beda. Ada yang gaya jalannya sangat khas dan butuh dukungan lebih lanjut karena juga memiliki kesulitan motorik lain seperti koordinasi, keseimbangan, atau bahkan menulis tangan. Beberapa anak juga mengalami kekakuan otot atau nyeri yang membuat aktivitas fisik jadi kurang nyaman.

Nah, kalau sudah berdampak ke aktivitas sehari-hari, tentu perlu penanganan. Tapi bukan berarti semua harus "diperbaiki" ya, sahabat. 
Pendekatannya lebih ke arah personal dan berdasarkan tujuan masing-masing individu. 

Seperti yang dijelaskan oleh Prof. Nicole Rinehart dari Monash University, “Kami tidak fokus pada membuat anak-anak bergerak seperti kebanyakan orang, tapi lebih pada membantu mereka menemukan cara bergerak yang nyaman dan fungsional untuk mereka.”

Program seperti Joy of Moving yang dikembangkan di Australia menjadi contoh menarik. Anak-anak autis didorong untuk aktif bergerak di sekolah, bukan cuma di klinik. 

Aktivitas seperti olahraga, menari, atau permainan motorik ringan terbukti bisa meningkatkan kemampuan fisik mereka sekaligus membangun keterampilan sosial.

Dan kabar baiknya lagi, semakin banyak komunitas yang mulai mengembangkan dukungan berbasis masyarakat. Pemerintah juga mulai mengembangkan dukungan di luar skema NDIS, supaya anak-anak autis bisa mendapatkan bantuan sejak dini, di lingkungan yang inklusif.

Akhirnya, gaya jalan bukan lagi sekadar cara melangkah, tapi juga bisa membuka pintu pemahaman lebih dalam tentang autisme. Yang penting, yuk mulai lihat perbedaan sebagai kekuatan, bukan kelemahan.

0 Komentar

Berita Terkait

Leave a comment