Banyak Orang Pernah Alami Kejang Sekali Seumur Hidup – tapi Tidak Selalu Berarti Epilepsi, Ini Penjelasan Dokter

19 November 2025 13:54
Penulis: Alamsyah, lifestyle
Ilustrasi seseorang mengalami kejang dan ditangani oleh orang terdekat.

Sahabat.com - Rasa panik sering muncul ketika seseorang tiba-tiba mengalami kejang. Tubuh bisa menegang, anggota gerak tersentak, hingga tatapan mendadak kosong. 

Namun menurut Dr. Austin Wang, Direktur Epilepsi Dewasa di NYC Health + Hospitals/Bellevue, gambaran orang “menggigil hebat” hanyalah satu jenis kejang. 

Ia menegaskan, “Ada kejang yang hanya terlihat seperti berhenti bicara sejenak, tatapan kosong, atau gerakan kecil berulang seperti mengedip atau menggigit bibir.”

Meski menakutkan, hampir 1 dari 10 orang akan mengalami setidaknya satu kali kejang dalam hidupnya. Banyak di antaranya hanya terjadi sekali dan tidak kembali lagi. Namun bagi penderita epilepsi, kejang datang berulang dan sulit diprediksi. 

Dr. Wang mengingatkan, “Satu dari 26 orang berisiko mengalami epilepsi seumur hidup sehingga kesadaran masyarakat sangat penting.”

Epilepsi sendiri adalah gangguan saraf kronis yang memicu aktivitas listrik abnormal di otak hingga munculnya kejang berulang tanpa pemicu jelas. Perbedaannya dengan stroke sering disalahpahami. 

Dr. Jerry Shih dari UC San Diego menjelaskan, “Kejang bisa terjadi sekali karena gangguan mendadak, sementara epilepsi menunjukkan kecenderungan otak untuk mengalami kejang berulang.”

Penyebab epilepsi pun beragam, mulai dari kelainan struktur otak, infeksi seperti meningitis, cedera kepala, kekurangan oksigen saat lahir, hingga faktor genetik. 

“Cedera kepala dan paparan zat beracun juga dapat meningkatkan risiko,” kata Shih. 

Banyak kasus juga tidak menemukan penyebab jelas, kondisi yang disebut epilepsi idiopatik.

Kabar baiknya, sebagian besar penderita epilepsi dapat hidup aktif dengan penanganan tepat. Obat antikejang menjadi terapi utama dan menurut Shih, “Obat dapat mengendalikan kejang pada dua pertiga pasien.” 

Beberapa orang bahkan bisa berhenti minum obat setelah stabil, meski sebagian besar tetap perlu konsumsi jangka panjang. Untuk kasus yang tidak merespons obat, tersedia pilihan operasi otak atau alat neurostimulasi.

Gaya hidup sehat ikut memainkan peran penting. Wang menyarankan untuk menjaga pola tidur, menghindari alkohol berlebihan, menjaga hidrasi, hingga menjauhi pemicu seperti cahaya berkedip atau suara ekstrem. Ia menambahkan, “Sebisa mungkin lindungi diri dari cedera, misalnya dengan memakai helm saat bersepeda, serta rutin olahraga dan menjaga kesehatan jantung serta otak.”

Kesadaran akan gejala dan pemicu membantu siapa pun—baik penyintas maupun pendamping—untuk lebih tenang. Seperti kata Wang, “Sedikit pencegahan jauh lebih baik daripada penanganan ketika sudah terlambat.”

0 Komentar

Berita Terkait

Leave a comment