Begini Cara Otak Kita Bereaksi Saat Nonton Pertandingan Sepak Bola, Ternyata Bisa Bikin Gagal Pikir!

12 November 2025 16:03
Penulis: Alamsyah, lifestyle
Aktivitas otak penggemar sepak bola saat tim kesayangannya menang dan kalah terlihat berbeda dalam hasil MRI.

Sahabat.com - Bagi penggemar sepak bola sejati, detik-detik pertandingan bisa terasa seperti roller coaster emosi. Sebuah studi terbaru dari Radiological Society of North America mengungkap bagaimana otak kita bereaksi saat tim kesayangan mencetak gol atau justru kalah telak. Hasilnya cukup mencengangkan — kemenangan ternyata memicu pusat “hadiah” di otak, sementara kekalahan justru menekan kemampuan berpikir logis.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dr. Francisco Zamorano dari Clínica Alemana de Santiago, Chile, para ilmuwan menggunakan teknologi functional MRI (fMRI) untuk memantau aktivitas otak 60 penggemar sepak bola berusia 20–45 tahun. Mereka menonton cuplikan gol dari tim favorit, tim rival, dan tim netral. Hasil pemindaian menunjukkan perubahan aktivitas otak yang sangat cepat tergantung pada hasil pertandingan.

“Rivalitas bisa mengubah keseimbangan antara pusat penghargaan dan kontrol dalam otak hanya dalam hitungan detik,” ujar Dr. Zamorano. 

Saat tim favorit menang melawan rival, bagian otak yang berhubungan dengan rasa bahagia bekerja lebih aktif. Sebaliknya, saat tim kalah, bagian otak yang mengatur pengendalian diri justru menurun aktivitasnya.

Fenomena ini menjelaskan kenapa penggemar bisa tiba-tiba bersikap irasional — mulai dari melempar protes, berteriak, hingga bertindak agresif di stadion. Aktivasi berlebihan pada sistem penghargaan otak memperkuat rasa kebersamaan dan identitas kelompok, tapi juga bisa memicu kehilangan kontrol diri.

Dr. Zamorano menegaskan bahwa pola ini tidak hanya terjadi di dunia olahraga. 

“Reaksi otak yang sama bisa muncul dalam fanatisme politik atau konflik sosial. Jadi, memahami mekanismenya bisa membantu kita mencegah kekerasan massa dan polarisasi,” katanya.

Ia menambahkan bahwa akar fanatisme sering terbentuk sejak kecil — dari pola asuh, tekanan sosial, hingga pengalaman emosional. Karena itu, melindungi masa kecil dari stres berlebih bisa jadi kunci agar seseorang tak mudah terjebak fanatisme ekstrem di masa depan.

0 Komentar

Berita Terkait

Leave a comment