Makanan Ultra Proses Sama Berbahayanya dengan Merokok, Ini Fakta Mengejutkan dari Peneliti

14 Oktober 2025 17:07
Penulis: Alamsyah, lifestyle
Dalam studi yang dipublikasikan di The American Journal of Medicine, para peneliti menemukan bahwa orang yang mengonsumsi makanan ultra-proses (UPF) dalam jumlah besar memiliki kadar protein C-reaktif sensitivitas tinggi (hs-CRP) yang jauh lebih tinggi. Protein ini adalah penanda utama peradangan dan indikator kuat risiko penyakit jantung.

Sahabat.com - Penelitian terbaru dari Florida Atlantic University menemukan bahwa konsumsi makanan ultra-proses, seperti minuman bersoda, sosis, nugget, dan camilan kemasan, dapat meningkatkan risiko peradangan dalam tubuh yang memicu penyakit jantung, kanker, hingga kematian dini. 

Para ahli bahkan memperingatkan bahwa efek jangka panjang makanan ultra-proses bisa sebanding dengan bahaya merokok.

Dalam studi yang dipublikasikan di The American Journal of Medicine, para peneliti menemukan bahwa orang yang mengonsumsi makanan ultra-proses (UPF) dalam jumlah besar memiliki kadar protein C-reaktif sensitivitas tinggi (hs-CRP) yang jauh lebih tinggi. Protein ini adalah penanda utama peradangan dan indikator kuat risiko penyakit jantung.

Menurut Dr. Allison H. Ferris, profesor kedokteran dari FAU sekaligus penulis utama penelitian, “Hasil ini menunjukkan dengan jelas bahwa orang yang paling banyak mengonsumsi makanan ultra-proses memiliki tingkat peradangan tubuh yang jauh lebih tinggi. Ini bukan sekadar data klinis, tapi peringatan serius bagi masyarakat dan dunia medis.”

Makanan ultra-proses mencakup produk tinggi gula, garam, dan lemak jenuh yang penuh bahan aditif serta minim nutrisi alami. Jenis makanan ini mencakup 60% dari total kalori harian orang dewasa di Amerika Serikat dan bahkan mencapai 70% pada anak-anak. 

“Kita sedang menghadapi generasi yang sebagian besar makan bahan buatan, bukan makanan alami,” ungkap Ferris.

Para peneliti menganalisis data dari 9.254 orang dewasa di seluruh AS melalui survei gizi nasional (NHANES). Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok yang mendapat 60–79% kalori dari makanan ultra-proses memiliki risiko 11% lebih tinggi mengalami peradangan, dibandingkan dengan mereka yang hanya mengonsumsi di bawah 20%. Bahkan pada tingkat konsumsi sedang (40–59%), risikonya tetap meningkat 14%.

Peneliti lain, Dr. Charles H. Hennekens, profesor kedokteran pencegahan dari FAU, menjelaskan bahwa protein hs-CRP merupakan “alat sederhana dan murah untuk mendeteksi peradangan dalam tubuh serta memprediksi risiko penyakit jantung di masa depan.” 

Ia menegaskan bahwa tenaga medis seharusnya lebih aktif mengingatkan pasien tentang bahaya makanan ultra-proses dan pentingnya meningkatkan konsumsi makanan utuh seperti buah, sayur, dan biji-bijian.

Studi ini juga menemukan bahwa usia, obesitas, dan kebiasaan merokok memperparah efek negatif makanan ultra-proses. Orang berusia 50–59 tahun memiliki risiko 26% lebih tinggi terhadap peradangan, sementara penderita obesitas memiliki risiko hingga 80% lebih tinggi dibanding mereka yang memiliki berat badan normal.

Para ilmuwan juga menyoroti lonjakan kasus kanker usus besar di kalangan usia muda, yang diduga kuat berkaitan dengan pola makan tinggi makanan ultra-proses. 

“Seperti halnya industri tembakau dulu, perusahaan besar makanan olahan punya pengaruh besar dalam pola konsumsi masyarakat. Tapi pada akhirnya, fakta ilmiah akan berbicara dan perubahan kebijakan akan datang,” ujar Hennekens.

Para ahli berharap pemerintah dapat memperketat pengawasan bahan tambahan makanan, memperjelas label nutrisi, dan menyediakan makanan sehat yang lebih terjangkau di sekolah serta program masyarakat. 

Sementara itu, masyarakat disarankan untuk mengurangi konsumsi makanan kemasan, memperbanyak bahan segar, dan memasak di rumah sebagai langkah sederhana namun sangat efektif menjaga kesehatan jangka panjang.

Penelitian ini kembali menegaskan satu hal penting: apa yang kita makan setiap hari bisa jadi lebih berbahaya dari yang kita kira. Jika dulu rokok menjadi musuh utama kesehatan, kini ancaman terbesar mungkin datang dari makanan yang paling sering kita temui di rak supermarket.

0 Komentar

Berita Terkait

Leave a comment