Sahabat.com - Lendir atau ingus mungkin sering dikaitkan dengan flu, siput, atau bayi yang meneteskan air liur. Namun, zat lengket yang sering kita anggap sepele ini memiliki peran yang sangat vital dalam tubuh kita, bahkan berpotensi menjadi bahan obat.
Setiap hari, tubuh kita memproduksi sekitar sepuluh liter lendir, mulai dari saluran hidung yang lembap hingga jalan-jalan berliku di usus. Salah satu bentuk lendir yang paling sering kita perhatikan adalah ingus—meskipun kita tidak sadar, tubuh menghasilkan sekitar dua desiliter ingus setiap hari.
Pär Stjärne, seorang dosen di Departemen Ilmu Klinis, Intervensi, dan Teknologi, Karolinska Institutet, telah melakukan penelitian mendalam tentang rinitis kronis (peradangan) pada mukosa hidung dan sinus.
"Hidung memiliki banyak tugas penting yang tidak kita sadari, dan lapisan mukosa dengan lapisan lendir di permukaannya sangat penting untuk menjalankan semua tugas tersebut," kata Stjärne.
Hidung bukan satu-satunya bagian dari sistem kekebalan tubuh yang memerangkap partikel, virus, dan bakteri dalam ingus. Mukosa hidung juga berfungsi sebagai pelembap dan penukar panas, yang "mengoptimalkan" udara sebelum mencapai paru-paru. Mukosa juga berperan penting dalam indera penciuman kita. Ini hanyalah sebagian kecil dari fungsi hidung.
"Hidung mampu menjalankan semua fungsinya karena dilapisi dengan mukosa, tetapi juga karena struktur anatominya yang sempit, yang menciptakan turbulensi. Turbulensi ini menyebabkan partikel yang lebih besar dari sepuluh mikrometer dikeluarkan ke dalam mukosa, di mana silia akan mengangkut partikel tersebut menuju tenggorokan," jelas Stjärne.
Fungsi hidung pada akhirnya dikendalikan oleh batang otak. Melalui neurotransmiter, batang otak mengatur berapa banyak atau sedikit ingus yang harus diproduksi oleh kelenjar mukosa, serta aliran darah ke mukosa hidung. Ini menjelaskan mengapa penggunaan semprotan hidung yang mengandung agonis alfa-adrenergik dalam waktu lama dapat menyebabkan ketergantungan.
"Jika digunakan lebih lama dari yang dianjurkan, biasanya sepuluh hari, ada risiko tinggi mengalami penyumbatan hidung yang disebabkan oleh obat. Ini terjadi karena jumlah reseptor alfa di hidung berkurang. Ketika ini terjadi, neurotransmiter batang otak menjadi tidak efektif, sehingga semprotan hidung decongestan lebih banyak dibutuhkan untuk menghindari penyumbatan," kata Stjärne.
Pengobatannya adalah dengan menghentikan penggunaan semprotan dan bertahan beberapa minggu sampai sistem tubuh pulih kembali.
Warna Ingus Tidak Menunjukkan Penyebabnya
Namun, anggapan bahwa warna ingus dapat menunjukkan penyebab infeksi adalah mitos. Flu hampir selalu disebabkan oleh virus yang menghasilkan ingus transparan, sementara mukosa hidung merespons dengan produksi ingus yang intens. Ini membuat kita ingin bersin, dan hidung mengeluarkan ingus.
Perubahan warna ingus terjadi karena ingus menjadi lebih kental seiring berjalannya waktu, akibat sel-sel mati seperti sel darah putih dan bakteri. Pertumbuhan bakteri biasanya terjadi setelah beberapa waktu pada flu, ketika bakteri yang biasanya tidak berbahaya di hidung memiliki kesempatan untuk berkembang tanpa gangguan, sementara sel imun fokus pada virus.
Menurut Stjärne, ini menciptakan "sup inflamasi" yang menjaga peradangan, dan penting untuk menghilangkannya dengan bantuan semprotan hidung atau bilasan hidung yang bisa dibuat di rumah dengan setengah sendok teh garam meja dan lima desiliter air keran hangat.
Mukosa Usus sebagai Benteng Kedua
Selain mukosa hidung, mukosa usus juga berperan penting dalam tubuh kita. Mukosa usus adalah lapisan permukaan terbesar yang berinteraksi dengan dunia luar, mempengaruhi segala yang kita makan. Charlotte Hedin, seorang ahli gastroenterologi dan peneliti di Pusat Gastrointestinal, Rumah Sakit Universitas Karolinska, telah menghabiskan bertahun-tahun mempelajari mukosa usus pada penderita penyakit radang usus (IBD).
"Mukosa usus adalah permukaan terbesar yang berinteraksi dengan dunia luar, lebih besar daripada bagian tubuh lain," kata Hedin.
Seperti pada hidung, produksi lendir di usus juga merupakan proses kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk hormon dan sel-sel imun. Perbedaan utama adalah bahwa makanan yang kita konsumsi sangat memengaruhi mukosa usus, terutama makanan olahan modern.
"Beberapa bahan kimia seperti emulsifier dan pengawet dapat membuat lapisan mukosa usus menjadi lebih tipis, meningkatkan permeabilitasnya dan berpotensi meningkatkan risiko peradangan," kata Hedin.
Inovasi lendir dalam penelitian medis
Selain fungsinya dalam tubuh, lendir juga memiliki potensi besar dalam dunia medis. Hongji Yan, peneliti di Universitas Uppsala yang juga terafiliasi dengan AIMES di Karolinska Institutet, sedang meneliti potensi mucin, komponen utama dalam lendir alami.
Tim penelitiannya telah berhasil mengembangkan gel berbahan mucin dari sapi yang dapat digunakan untuk berbagai aplikasi medis. Gel ini dapat mencegah penyebaran virus HIV dan herpes, dengan hasil yang menjanjikan dalam uji laboratorium.
Yan percaya bahwa gel ini dapat digunakan untuk melawan infeksi virus menular seksual, serta infeksi bakteri seperti gonore dan klamidia. Selain itu, gel berbasis mucin juga berpotensi untuk digunakan dalam bedah cakram hernia dan transplantasi organ, dengan harapan dapat melindungi sel-sel tubuh dari penolakan sistem kekebalan tubuh.
Penelitian mengenai lendir menunjukkan bahwa zat ini tidak hanya memainkan peran penting dalam sistem kekebalan tubuh, tetapi juga memiliki potensi besar untuk terapi medis di masa depan. Baik itu dalam melawan infeksi virus, memperbaiki mukosa yang rusak, atau bahkan dalam prosedur medis lainnya, lendir bisa menjadi bahan berharga dalam pengembangan pengobatan dan teknologi medis.
0 Komentar
Billie Eilish Dikabarkan Menunjukkan Tanda-tanda Paranoia
Apakah Anak Anda Sering Sakit Saat Musim Dingin? Ahli Berikan Tips untuk Meningkatkan Imunitas
Ilmuwan Ungkap Mikroba yang Mungkin Hidup di Microwave Anda
Aktivitas Kuno Ini Dinyatakan Dapat Meningkatkan Kesehatan dan Memperpanjang Umur, Benarkah?
Waspada Penyakit Tidur yang Mematikan: Demam, Psikosis, dan Risiko Penyebaran Global
Konsumsi Daging Merah Bisa Meningkatkan Risiko Diabetes Tipe 2, Banyak yang Belum Tahu
Para Ilmuwan Menemukan Kode Kanker dengan Penemuan Protein Terobosan
Leave a comment