Perbedaan Penyakit Jantung pada Wanita dan Pria

16 Januari 2025 22:03
Penulis: Alamsyah, lifestyle
Wanita sering kali menunjukkan gejala penyakit jantung lebih lambat karena efek protektif estrogen, yang menurun setelah menopause, bersama dengan penurunan kadar progesteron dan androgen.

Sahabat.com - Mengenali perbedaan jenis kelamin dan gender dalam perawatan kardiovaskular sangat penting untuk pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit jantung koroner (CHD). Komite Wanita dalam Kardiologi dari British Cardiovascular Society menjelaskan hal ini.

Penyakit jantung koroner (CHD) menyebabkan kematian pada wanita di Inggris dua kali lebih banyak daripada kanker payudara. Namun meskipun demikian, penyakit ini masih sering tidak dikenali dan kurang mendapatkan pengobatan yang tepat. 

Pandangan keliru mengenai rendahnya risiko pada wanita menyebabkan keterlambatan dalam mencari perawatan dan mendapatkan pengobatan. 

Pernyataan konsensus terbaru dari British Cardiovascular Societies dalam jurnal Heart bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mengenai besarnya masalah ini dan mengusulkan strategi untuk mengatasi hambatan yang dihadapi oleh wanita.

Perbedaan jenis kelamin dan gender dalam CHD disebabkan oleh berbagai faktor. Perawatan primer sering kali lebih fokus pada faktor risiko tradisional pada pria, dengan memulai program pencegahan lebih awal pada kelompok ini. 

Wanita biasanya lebih tua, memiliki lebih banyak komorbiditas, dan gejala yang berbeda, yang mempengaruhi identifikasi CHD serta pengelolaan farmakologis atau intervensional yang diperlukan. 

Faktor sosial-ekonomi dan psikososial juga membuat wanita lebih enggan untuk terlibat dalam perawatan diri atau rehabilitasi, yang dapat menyebabkan hasil yang lebih buruk.

Penyakit Jantung pada Wanita vs. Pria: Perbedaan Biologis
Perbedaan biologis utama antara pria dan wanita mempengaruhi penyajian penyakit, patofisiologi, dan prognosisnya. 

Wanita lebih rentan terhadap kondisi-kondisi seperti penyakit mikrovascular koroner, spasme arteri koroner, diseksi spontan arteri koroner, kardiomiopati takotsubo, disfungsi endotel, gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang terjaga, dan kondisi autoimun. 

Wanita juga menunjukkan respons yang berbeda terhadap obat-obatan, yang mempengaruhi rencana pengobatan dan hasilnya. 

Wanita sering kali menunjukkan gejala penyakit jantung lebih lambat karena efek protektif estrogen, yang menurun setelah menopause, bersama dengan penurunan kadar progesteron dan androgen. 

Penurunan hormon ini berdampak negatif pada mekanisme perlindungan tubuh, menyebabkan peningkatan LDL-kolesterol yang merugikan, peningkatan risiko hipertensi, diabetes tipe 2, dan lebih banyak kejadian sindrom metabolik termasuk penyakit hati berlemak non-alkohol. 

Perubahan-perubahan ini meningkatkan kejadian CHD pada wanita pasca-menopause. 

Memahami faktor-faktor ini sangat penting untuk penilaian dan intervensi risiko kardiovaskular yang lebih dini, baik selama, sebelum, maupun setelah menopause. 

Selain itu, penting untuk mengeksplorasi peran terapi penggantian hormon dalam mengurangi risiko ini dan meningkatkan kesehatan kardiovaskular. Namun, bukti mengenai pengelolaan gejala menopause pada wanita dengan penyakit jantung masih terbatas. 

Kesadaran terhadap faktor risiko unik seperti diabetes gestasional dan preeklamsia juga sangat penting karena potensi efek jangka panjang pada kesehatan kardiovaskular.

Ketimpangan Gender dalam Penelitian Kardiovaskular
Wanita kurang terwakili dalam penelitian kardiovaskular, yang berkontribusi pada hasil yang lebih buruk. 

Uji coba terkontrol acak (RCT) secara historis kurang melibatkan wanita, sebagian karena underdiagnosis dan undertreatment, yang mengurangi kesempatan untuk memasukkan wanita ke dalam percobaan. 

Kriteria percobaan sering kali mengecualikan wanita usia subur dan/atau pasien hamil, atau mendiskriminasinya melalui ukuran tidak langsung, seperti mewajibkan dosis obat minimum atau batasan usia maksimum. 

Oleh karena itu, banyak obat kardiovaskular yang belum diuji secara memadai pada wanita, yang dapat memengaruhi efektivitas pengobatan.

Di dunia kardiologi, ada ketimpangan gender yang signifikan dalam tenaga kerja, dengan kurangnya representasi wanita sebagai klinisi, pemimpin, dan peneliti. Hanya 28% dari pelatihan dan 13% dari konsultan yang perempuan, meskipun wanita membentuk lebih dari separuh posisi pelatihan medis. 

Ketimpangan ini lebih terasa di dunia akademis, di mana wanita hanya berjumlah 18,8% dari penulis pertama dan 11,9% dari penulis terakhir. 

Hambatan-hambatan yang ada termasuk kurangnya panutan, komitmen keluarga, ketidaksetaraan gaji, dan seksisme yang melekat. 

Mengatasi ketidakseimbangan gender dalam pelatihan kardiologi dapat memperluas representasi wanita dalam penelitian dan praktik klinis kardiovaskular. Uji coba yang dipimpin oleh peneliti wanita cenderung memiliki tingkat partisipasi wanita yang lebih tinggi, meningkatkan hasil penelitian dan inklusivitas.

Kesenjangan dalam penelitian menekankan pentingnya mempelajari dampak spesifik jenis kelamin dan gender terhadap kesehatan kardiovaskular pada wanita. 

Uji coba harus melibatkan lebih banyak wanita untuk memungkinkan analisis sub-gender dan jenis kelamin yang memadai. Peningkatan jumlah wanita dalam kardiologi dapat memicu siklus berkelanjutan yang memperbanyak wanita yang merancang, memimpin, dan berpartisipasi dalam uji coba klinis. 

Komite Wanita dalam Kardiologi dari British Cardiovascular Society mendorong wanita dalam pelatihan melalui pendidikan dan pembimbingan. 

Meningkatkan kesadaran tentang penyakit jantung pada wanita sangat penting, karena penyakit ini tetap menjadi penyebab utama kematian mereka.

0 Komentar

Berita Terkait

Leave a comment