Serum Anti-Bisa Ular Buatan Ilmuwan Brasil Tiga Kali Lebih Efektif

16 April 2025 15:39
Penulis: Alamsyah, lifestyle
WHO memperkirakan lebih dari 5 juta kasus gigitan ular terjadi setiap tahun, dengan lebih dari 100 ribu kematian dan 400 ribu orang mengalami disabilitas.

Sahabat.com - Tim peneliti dari Universitas Federal São Paulo (UNIFESP) dan Institut Butantan di Brasil berhasil mengembangkan serum antibisa ular jenis Bothrops—terutama jararaca—yang memiliki efektivitas tiga kali lipat dibandingkan versi standar yang digunakan saat ini.

Penelitian ini dipublikasikan di Journal of Proteome Research dan dipimpin oleh Profesor Alexandre Tashima dari Fakultas Kedokteran UNIFESP. 

Dalam pengembangannya, tim menggabungkan teknik klasik dan modern seperti kromatografi afinitas, resonansi plasmon permukaan, dan spektrometri massa untuk meningkatkan kandungan protein penetral racun sekaligus mengurangi molekul penyebab efek samping.

"Serum baru ini memiliki efektivitas yang lebih tinggi meskipun digunakan dalam dosis lebih kecil," jelas Tashima.

Lebih Sedikit Efek Samping

Serum antibisa selama ini diproduksi dengan menyuntikkan racun dalam dosis kecil ke hewan besar seperti kuda, lalu mengisolasi antibodi dari darahnya. 

Namun, studi terdahulu menunjukkan bahwa hanya 10–40% komposisi serum ini yang benar-benar menargetkan racun ular. 

Dalam serum standar, hanya 27,8% yang efektif melawan racun jararaca, sedangkan sisanya terdiri dari protein non-spesifik seperti albumin kuda.

Albumin ini, meskipun penting bagi mamalia, bisa menimbulkan reaksi imun negatif pada manusia. Efek samping dilaporkan terjadi pada 5–57% pasien yang menerima serum standar.

Hasil Purifikasi dan Efektivitas

Dengan metode purifikasi tambahan, peneliti berhasil mengurangi kandungan albumin hingga 87%, dan protein lainnya hingga 83%. 

Hasil uji pada tikus menunjukkan bahwa serum baru memiliki afinitas 2,9 kali lebih tinggi terhadap racun dan hanya memerlukan 2,8 kali lebih sedikit dosis untuk menetralisasi bisa ular.

"Ini artinya serum lebih kuat dan kemungkinan efek sampingnya lebih rendah," jelas Tassia Chiarelli, penulis utama studi yang dilakukan saat studi magisternya di UNIFESP.

Meski teknologi purifikasinya sudah tersedia dan digunakan secara luas dalam biofarmasi lain, produk ini masih membutuhkan uji klinis dan persetujuan regulasi sebelum bisa dipasarkan.

Prospek Pengobatan Baru

Peneliti juga menyebutkan kemungkinan pengembangan terapi antibisa menggunakan antibodi monoklonal, sebagaimana yang sudah digunakan untuk COVID-19. 

Namun, biaya dan waktu pengembangan menjadi kendala utama, sehingga serum heterologus tradisional kemungkinan masih akan digunakan dalam waktu lama.

WHO memperkirakan lebih dari 5 juta kasus gigitan ular terjadi setiap tahun, dengan lebih dari 100 ribu kematian dan 400 ribu orang mengalami disabilitas. 

Kebanyakan korban adalah petani muda dan anak-anak dari komunitas miskin.
Pada 2017, WHO kembali memasukkan keracunan akibat gigitan ular ke dalam daftar penyakit tropis terabaikan untuk mendorong perhatian dan pendanaan dari pemerintah serta lembaga kemanusiaan.

0 Komentar

Berita Terkait

Leave a comment