Terungkap! ADHD Bisa Picu Gangguan Cemas Serius pada Anak Perempuan, Waspadai Gejalanya Sejak Dini!

30 April 2025 17:37
Penulis: Alamsyah, lifestyle
Peneliti berharap temuan ini bisa mendorong deteksi dini ADHD sebelum terlambat. Mereka juga menekankan pentingnya pemahaman mendalam tentang hubungan kompleks antara jenis kelamin, ADHD, dan kecemasan.

Sahabat.com - Sahabat, siapa sangka kalau ADHD dan gangguan kecemasan ternyata bisa saling memperburuk satu sama lain? Dan kabar mengejutkannya, kondisi ini ternyata lebih rentan terjadi pada anak perempuan. 

Peneliti dari Norwegian University of Science and Technology (NTNU) baru saja mengungkap hubungan mengejutkan antara ADHD dan kecemasan yang berbeda pada anak laki-laki dan perempuan.

Studi ini menunjukkan bahwa jenis ADHD yang disebut tipe inatentif—alias mudah terdistraksi, pelupa, dan tampak melamun—lebih sering ditemukan pada anak perempuan. Sedangkan anak laki-laki cenderung menunjukkan ADHD tipe hiperaktif-impulsif. 

“Pertama-tama, kami menemukan adanya kaitan antara kecemasan dan ADHD tipe inatentif, dan ini hanya berlaku pada anak perempuan,” ungkap Profesor Lars Wichstrøm dari Departemen Psikologi NTNU. 

Ia mengaku cukup terkejut dengan perbedaan signifikan berdasarkan jenis kelamin ini. Selama ini mereka meneliti gejala inatensi sebagai bagian dari ADHD, bukan ADHD sebagai diagnosis keseluruhan.

Yang menarik, sahabat, ADHD dan kecemasan ternyata membentuk hubungan yang saling memperkuat satu sama lain. Ketika seorang anak perempuan mengalami inatensi, risiko timbulnya gangguan kecemasan di masa kecil hingga remaja jadi meningkat. 

Dan sebaliknya, kecemasan yang muncul saat remaja bisa memperburuk gejala inatensi mereka. Tapi untuk anak laki-laki, hubungan ini berbeda. Meski tidak ditemukan kaitan langsung antara inatensi dan kecemasan, justru gejala hiperaktif-impulsif di usia awal sekolah dapat meningkatkan kemungkinan mereka mengalami kecemasan di kemudian hari.

Peneliti menekankan pentingnya deteksi dini, terutama pada anak perempuan. 

"Jika kita bisa mengidentifikasi masalah inatensi sebelum anak menginjak usia 12 tahun, bahkan sejak usia 8 tahun, kita mungkin bisa mengurangi atau mencegah berkembangnya gangguan kecemasan," kata Wichstrøm. 

Masalahnya, banyak anak perempuan dengan ADHD tipe inatentif sering dianggap hanya pemalu, pendiam, atau pemimpi. Gejalanya tidak mencolok, dan mereka jarang membuat masalah di kelas. Akibatnya, mereka bisa luput dari perhatian guru dan orang tua, sehingga diagnosis terlambat diberikan. Padahal, intervensi sejak dini bisa mencegah kecemasan di kemudian hari.

Berbeda dengan anak laki-laki yang cenderung lebih terlihat karena gejalanya berupa tidak bisa diam, kesulitan menunggu giliran, dan perilaku impulsif yang mudah dikenali. Mereka lebih cepat didiagnosis dan mendapatkan bantuan. Tapi anak perempuan? Banyak dari mereka yang akhirnya kehilangan kesempatan untuk dibantu sejak awal.

Sahabat, anak yang kesulitan dengan keterampilan dasar bisa mengalami penolakan sosial, bullying, dan tekanan lainnya. 

“Tantangan pribadi dan sosial bisa dengan mudah membuat anak-anak terjebak dalam kekhawatiran berlebihan, kecemasan, bahkan pemikiran negatif. Anak perempuan tampaknya lebih rentan terhadap efek negatif dari pengalaman hidup buruk atau bullying. Mereka cenderung meresponnya dengan depresi, dibanding anak laki-laki,” jelas Wichstrøm.

Menariknya, banyak kasus ADHD pada remaja perempuan baru terdeteksi setelah munculnya gejala kecemasan. 

“Secara umum, saat anak-anak mendekati masa pubertas, kecemasan meningkat secara signifikan—terutama pada anak perempuan. Dan baru pada saat itulah ADHD mereka juga dikenali,” tambah Wichstrøm.

Peneliti berharap temuan ini bisa mendorong deteksi dini ADHD sebelum terlambat. Mereka juga menekankan pentingnya pemahaman mendalam tentang hubungan kompleks antara jenis kelamin, ADHD, dan kecemasan. Penelitian lebih lanjut sangat dibutuhkan, terutama pada anak perempuan usia sangat muda.

Sebagai informasi, studi ini melibatkan 1.000 anak yang lahir pada tahun 2003–2004 dan telah dipantau sejak usia 4 tahun hingga 18 tahun. Kini mereka sudah berusia 22 tahun. Studi ini merupakan bagian dari proyek doktoral Mojtaba Habibi Asgarabad dan menjadi bagian dari Trondheim Early Secure Study (TESS), yang baru-baru ini diterbitkan di Journal of Child Psychology and Psychiatry.

Terlepas dari perdebatan soal potensi overdiagnosis ADHD, Wichstrøm menegaskan, “Kita tetap harus berusaha mendeteksi ADHD yang benar-benar ada dan membantu mereka yang membutuhkannya.”

0 Komentar

Berita Terkait

Leave a comment