Sahabat.com - Penyakit pernapasan merupakan masalah kesehatan yang sulit diobati. Obat inhalasi menjadi solusi yang menjanjikan, namun efektivitasnya bergantung pada kemampuan untuk mengantarkan partikel kecil (aerosol) ke tempat yang tepat di paru-paru dengan dosis yang sesuai.
Hal ini bisa menjadi rumit tergantung pada jenis obat, metode pengantaran, dan kondisi pasien, karena sulit untuk memprediksi seberapa banyak obat yang sampai ke paru-paru dan di bagian mana obat tersebut berada.
Tantangan serupa juga ada ketika mengukur paparan partikel berbahaya, seperti asbes atau asap.
Catherine Fromen, Profesor Asosiasi di Universitas Delaware, bersama dua alumni UD, telah mengembangkan model paru 3D yang dapat meniru gerakan pernapasan alami dan memberikan evaluasi obat aerosol secara pribadi di berbagai kondisi pernapasan.
Model ini dapat membantu memahami bagaimana obat inhalasi berperilaku di saluran napas atas dan bagian dalam paru-paru. Ini bisa memberikan gambaran yang lebih luas tentang bagaimana memprediksi efektivitas obat inhalasi pada berbagai kelompok orang atau kelompok usia yang berbeda. Penelitian ini telah dipublikasikan dalam jurnal Device.
Paru-paru manusia berfungsi untuk pertukaran gas, dan memiliki area permukaan yang sangat luas. Struktur paru mirip seperti pohon yang bercabang-cabang, dari trakea yang besar hingga cabang-cabang kecil di bagian dalam paru-paru yang berukuran sangat kecil.
Cabang-cabang ini menyaring aerosol saat bergerak melalui paru-paru, yang akhirnya mencapai alveoli, tempat pertukaran gas berlangsung.
Menciptakan model paru yang meniru fungsi dan struktur paru yang kompleks di laboratorium sangat menantang. Namun, model paru 3D yang dikembangkan di UD ini unik karena bisa bergerak dengan pola yang sama seperti paru manusia.
Model ini juga dilengkapi dengan struktur kisi untuk mewakili seluruh volume dan area permukaan paru. Dengan bantuan pencetakan 3D, model ini dapat mendesain penyaringan partikel yang lebih tepat tanpa perlu meniru semua kompleksitas biologis paru secara utuh.
Proses pengujian bagaimana partikel aerosol bergerak dalam model paru 3D dilakukan secara bertahap. Proses eksposur partikel ke model berlangsung hanya sekitar lima menit, namun analisisnya memakan waktu lebih lama.
Para peneliti menambahkan molekul fluoresen untuk melacak di mana partikel-partikel tersebut berada di dalam model. Hasilnya, para peneliti dapat membuat peta panas untuk mengetahui seberapa jauh partikel aerosol terdeposit di saluran napas.
Ke depannya, kemampuan untuk memodelkan perbedaan kondisi kesehatan, seperti serangan asma atau penyakit paru obstruktif kronis (COPD), dapat membantu dalam perawatan yang lebih personal.
Misalnya, pasien yang mengalami kesulitan dalam penyerapan obat mungkin membutuhkan dosis lebih lama atau inhaler yang dirancang ulang.
Model ini juga memberikan gambaran baru bagi pengembangan obat di industri farmasi.
Selain itu, model paru 3D ini juga digunakan dalam proyek bersama dengan Army Research Lab untuk memahami paparan lingkungan, seperti bagaimana bahan berbahaya masuk ke dalam paru-paru dan di bagian mana mereka mengendap.
0 Komentar
Kasur Bayi Bisa Bahayakan Otak Anak? Ini Fakta Mengejutkan yang Wajib Diketahui Para Orang Tua!
Mau Tekanan Darah Stabil Tanpa Ribet? Rahasia Sederhana Ini Lebih Ampuh dari Cuma Kurangi Garam!
Cuaca Ekstrem Bikin Kita Doyan Lemak? Ini Fakta Mengejutkannya!
Kaki Sering Dingin dan Berat? Waspada, Bisa Jadi Tanda Masalah Serius di Pembuluh Darah!
Leave a comment