Morning Sickness Parah Bisa Hancurkan Harapan Ibu Hamil

04 September 2025 14:08
Penulis: Alamsyah, lifestyle
Studi yang diterbitkan di jurnal PLOS ONE ini mengungkap beban emosional dan fisik yang begitu berat hingga lebih dari separuh perempuan yang mengalaminya pernah mempertimbangkan untuk mengakhiri kehamilan, dan sembilan dari sepuluh memilih tidak lagi memiliki anak setelah mengalami gejala parah tersebut.

Sahabat.com - Morning sickness sering dianggap wajar, tetapi penelitian terbaru dari Flinders University Australia menunjukkan sisi kelam dari kondisi ekstrem yang disebut hyperemesis gravidarum (HG). 

Studi yang diterbitkan di jurnal PLOS ONE ini mengungkap beban emosional dan fisik yang begitu berat hingga lebih dari separuh perempuan yang mengalaminya pernah mempertimbangkan untuk mengakhiri kehamilan, dan sembilan dari sepuluh memilih tidak lagi memiliki anak setelah mengalami gejala parah tersebut.

HG bukan sekadar mual di pagi hari. Kondisi ini bisa berdampak besar pada kesehatan mental, hubungan, hingga keputusan perempuan tentang masa depan keluarga mereka. 

“Banyak perempuan tidak mendapatkan dukungan atau perawatan yang mereka butuhkan, dan itu harus segera diatasi,” tegas Associate Professor Luke Grzeskowiak, seorang apoteker sekaligus peneliti dari Flinders University.

Dalam survei terhadap 289 perempuan di Australia, sebanyak 54% pernah terpikir untuk menghentikan kehamilan karena gejala HG, sementara 90% memilih tidak lagi hamil. 

Bahkan, 62% responden mengaku sering mengalami kecemasan dan depresi sepanjang kehamilan.
Meski banyak obat digunakan untuk meredakan gejala, hasilnya tidak selalu efektif. 

Hanya separuh responden yang merasa pengobatan membantu, seperti ondansetron, doxylamine, dan kortikosteroid. Namun, efek sampingnya cukup berat, mulai dari sembelit, kantuk, hingga gangguan konsentrasi. 

Sementara itu, obat metoclopramide justru dihentikan oleh hampir sepertiga pasien karena efek samping serius. 

“Perempuan sering diberikan berbagai obat sekaligus, tapi kenyataannya banyak pengobatan membawa beban baru,” ujar Grzeskowiak.

Tak hanya kesehatan, HG juga mengganggu kehidupan sehari-hari. Lebih dari separuh perempuan melaporkan kesulitan bekerja, mengurus anak, menjaga hubungan, bahkan sekadar melakukan aktivitas rumah tangga. Sebanyak 37% bahkan meminta persalinan dipercepat karena tak kuat menahan gejala.

Caitlin Kay-Smith, pendiri organisasi Hyperemesis Australia, menegaskan bahwa temuan ini seharusnya membuka mata banyak pihak. 

“Sering kali gejala perempuan dianggap hal normal dalam kehamilan, padahal HG bisa mengubah hidup mereka. Kita butuh pendekatan yang lebih personal, bukan perawatan seragam untuk semua,” katanya.

Penelitian ini didukung Robinson Research Institute di University of Adelaide dan menyerukan agar layanan pendukung bagi perempuan dengan HG ditingkatkan, termasuk penelitian lanjutan soal dampak jangka panjang. 

Grzeskowiak menutup dengan pesan yang kuat: “Perempuan ingin didengar, dipercaya, dan diperlakukan dengan bermartabat.”

0 Komentar

Berita Terkait

Leave a comment