Ternyata Meditasi Bisa Bikin Cemas dan Depresi, Ini Fakta Mengejutkannya!

04 Juni 2025 15:22
Penulis: Alamsyah, lifestyle
Baru-baru ini, riset tentang efek samping dari meditasi mulai gencar dilakukan. Dalam sebuah studi tahun 2022 terhadap 953 orang di AS yang rutin bermeditasi, lebih dari 10 persen peserta mengalami efek negatif yang cukup parah hingga mengganggu kehidupan sehari-hari mereka selama minimal satu bulan.

Sahabat.com - Selama ini kita sering mendengar bahwa meditasi dan mindfulness adalah kunci untuk mengurangi stres, menenangkan pikiran, dan menjaga kesehatan mental. 

Apalagi bisa dilakukan sendiri di rumah tanpa biaya, jadi terdengar seperti solusi sempurna, ya kan? Tapi ternyata, ada sisi gelap dari meditasi yang jarang banget dibahas.

Mindfulness, atau kesadaran penuh, sebenarnya berasal dari praktik meditasi Buddhis kuno yang fokus pada kesadaran atas apa yang kita rasakan, pikirkan, dan alami saat ini juga. 

Praktik ini udah ada sejak lebih dari 1.500 tahun lalu, lho! Dalam teks kuno dari India yang bernama Dharmatrāta Meditation Scripture, dijelaskan bahwa meditasi bisa memicu gejala-gejala seperti depresi, kecemasan, bahkan perasaan aneh seperti dunia ini nggak nyata.

Baru-baru ini, riset tentang efek samping dari meditasi mulai gencar dilakukan. Dalam sebuah studi tahun 2022 terhadap 953 orang di AS yang rutin bermeditasi, lebih dari 10 persen peserta mengalami efek negatif yang cukup parah hingga mengganggu kehidupan sehari-hari mereka selama minimal satu bulan.

Nggak cuma itu, review penelitian selama 40 tahun yang dirilis tahun 2020 menunjukkan bahwa efek samping yang paling umum adalah kecemasan dan depresi. 

Ada juga yang mengalami gejala psikosis, delusi, perasaan terlepas dari diri sendiri, dan ketakutan ekstrem. Dan ternyata, efek samping ini bisa terjadi pada siapa saja—bahkan mereka yang nggak punya riwayat masalah mental sebelumnya.

Menariknya, di Barat, efek-efek ini sebenarnya sudah diketahui sejak lama. Pada tahun 1976, Arnold Lazarus, seorang tokoh penting dalam ilmu perilaku kognitif, mengatakan bahwa meditasi bisa menimbulkan masalah kejiwaan serius seperti depresi, kegelisahan, bahkan kondisi mirip skizofrenia jika dilakukan tanpa panduan yang tepat.

Padahal ya, manfaat dari meditasi dan mindfulness itu memang ada. Masalahnya, hampir nggak ada pelatih meditasi, video online, aplikasi, atau buku yang memperingatkan soal potensi efek negatif ini. 

Ronald Purser, profesor manajemen yang juga guru Buddhis, bahkan menyebut dalam bukunya McMindfulness tahun 2023 bahwa praktik ini udah jadi semacam “spiritualitas kapitalis”.

“90 persen riset soal manfaat mindfulness itu kualitasnya di bawah standar,” ujar Jon Kabat-Zinn, tokoh penting di balik gerakan mindfulness, dalam wawancara tahun 2017 dengan The Guardian.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, hasil studi terbesar dan termahal dalam sejarah riset meditasi menunjukkan bahwa mindfulness ternyata gagal meningkatkan kesejahteraan mental anak-anak. Studi ini dilakukan terhadap lebih dari 8.000 anak usia 11-14 tahun di Inggris, dan malah bisa berdampak buruk pada anak-anak yang sudah berisiko mengalami masalah mental. 

Tapi sayangnya, hasil mengejutkan ini hampir nggak diberitakan oleh media besar.
Lalu, apakah etis menjual aplikasi mindfulness, mengajar kelas meditasi, atau bahkan memakai teknik ini dalam terapi tanpa memberitahu orang-orang soal potensi bahayanya? Harusnya sih jawabannya tegas: nggak. 

Banyak guru meditasi sendiri yang nggak tahu bahwa praktik ini bisa membawa dampak buruk, atau lebih parahnya lagi, nggak percaya saat murid mereka mengalami hal tersebut. 

Kebanyakan hanya bilang, “Lanjutkan saja meditasinya, nanti juga hilang sendiri.”

Faktanya, riset tentang bagaimana cara bermeditasi dengan aman masih sangat minim. Dunia psikologi juga belum punya cukup teori untuk menjelaskan kondisi kesadaran unik yang muncul dari praktik meditasi. Untungnya sekarang sudah mulai ada beberapa sumber yang bisa membantu orang-orang memahami dan mengatasi efek samping ini, mulai dari website buatan para meditator yang pernah mengalami gangguan serius, sampai buku akademik yang membahas topik ini secara mendalam.

Di AS bahkan sudah ada layanan klinis khusus untuk orang-orang yang mengalami masalah jangka panjang akibat meditasi, dipimpin langsung oleh peneliti mindfulness. Jadi, kalau meditasi ingin tetap digunakan sebagai alat terapi atau peningkatan kesejahteraan, masyarakat perlu mendapatkan informasi yang lengkap—bukan hanya soal manfaatnya, tapi juga risikonya.

0 Komentar

Berita Terkait

Leave a comment