Sahabat.com - Anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang penuh tekanan ternyata punya risiko lebih besar mengalami depresi. Ini bukan cuma karena kejadian buruk yang mereka alami secara langsung, tapi juga karena kondisi lingkungan di sekitar mereka yang bisa memengaruhi cara otak mereka merespons hal-hal baik dan buruk.
Tim psikolog dari Universitas Binghamton menemukan fakta menarik ini setelah meneliti lebih dari 200 anak berusia 7 hingga 11 tahun.
Anak-anak yang tinggal di wilayah dengan tingkat kejahatan tinggi, kemiskinan, dan minim fasilitas umum, menunjukkan respons otak yang cenderung "datar" saat mereka mendapatkan hadiah atau mengalami kerugian.
Tapi hal ini terutama terjadi pada anak-anak yang punya riwayat keluarga dengan gangguan depresi berat.
“Minat saya memang pada bagaimana otak merespons hadiah dan bagaimana itu berkaitan dengan risiko depresi,” kata Elana Israel, salah satu peneliti.
Ia menambahkan bahwa selama ini banyak penelitian fokus pada stres personal, seperti trauma atau masalah pribadi, tapi belum banyak yang meneliti stres dari lingkungan sekitar.
Dalam studi ini, anak-anak diminta bermain game sederhana yang memungkinkan mereka menang atau kalah uang, sementara aktivitas otaknya direkam menggunakan EEG.
Hasilnya, anak-anak dari lingkungan sulit—terutama yang orang tuanya pernah mengalami depresi—menunjukkan respons otak yang cenderung tumpul, baik saat menang maupun kalah.
“Biasanya kalau ada sesuatu yang menyenangkan atau mengecewakan, otak kita langsung merespons, dan kita bisa mengukurnya,” kata Profesor Brandon Gibb.
“Cara otak kita merespons kejadian baik atau buruk bisa memengaruhi risiko kita mengalami depresi. Jadi ini bukan cuma soal pengalaman pribadi, tapi juga lingkungan tempat kita tinggal.”
Menurut Gibb, anak-anak yang terbiasa hidup di lingkungan penuh tekanan bisa jadi belajar untuk tidak terlalu bersemangat saat hal baik terjadi, dan juga tidak terlalu kecewa saat mengalami hal buruk. Ini adalah bentuk adaptasi dari stres jangka panjang.
“Kalau kamu hidup dalam stres terus-menerus, lama-lama reaksi emosimu bisa jadi mati rasa terhadap apa pun, baik itu kabar gembira atau musibah,” jelasnya.
“Padahal, anak-anak perlu merasa senang saat hal baik terjadi, karena itu yang mendorong mereka untuk aktif dan termotivasi.”
Penelitian selanjutnya akan melihat apa yang terjadi saat anak-anak ini pindah ke lingkungan baru—apakah respons otak mereka ikut berubah. Tim peneliti juga ingin memperluas studi ini ke remaja dan melihat apakah efek serupa juga muncul dalam konteks sosial, misalnya dalam hal diterima atau ditolak oleh teman sebaya.
“Lingkungan tempat tinggal punya pengaruh besar terhadap kesehatan mental,” kata Gibb lagi.
“Bahkan kalau anak itu sendiri nggak mengalami langsung kejadian buruk, suasana di sekitarnya bisa tetap berdampak. Makanya penting banget untuk memperbaiki kondisi lingkungan kita.”
0 Komentar
Awas! Plastik Mikro Kini Bersarang di Pembuluh Darah Kita dan Bisa Picu Stroke Diam-Diam!
Tren Viral "Tummy Time" untuk Dewasa, Cuma Rebahan tapi Bikin Postur Membaik dan Sakit Leher Hilang!
AI Ini Bisa "Mencium" Kanker Payudara yang Luput dari Mata Dokter, Hasilnya Mengejutkan!
Tumbuh di Lingkungan Sulit Bisa Bikin Anak Lebih Rentan Depresi, Ini Penjelasan Ahlinya!
Teknik 'Jeffing' yang Bikin Kamu Lari Lebih Jauh Tanpa Tersiksa!
Leave a comment