Sahabat.com - Penelitian yang dipimpin oleh Institut Barcelona untuk Kesehatan Global (ISGlobal) mengungkapkan bahwa antibodi yang diturunkan dari ibu melalui plasenta dapat mengganggu respons terhadap vaksin malaria pada bayi.
Temuan ini menjelaskan mengapa vaksin malaria menunjukkan kemanjuran yang lebih rendah pada bayi di bawah usia lima bulan. Penelitian ini melibatkan kolaborasi dengan tujuh pusat di Afrika, termasuk CISM di Mozambik, IHI di Tanzania, CRUN di Burkina Faso, KHRC dan NNIMR di Ghana, CERMEL di Gabon, serta KEMRI di Kenya.
Temuan tersebut diterbitkan dalam jurnal The Lancet Infectious Diseases. Penelitian ini menyarankan bahwa anak-anak di bawah usia yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mungkin masih mendapatkan manfaat dari vaksin malaria RTS,S dan R21, terutama jika mereka tinggal di daerah dengan penularan malaria rendah, di mana ibu memiliki tingkat antibodi yang lebih rendah terhadap parasit tersebut.
Dunia telah mencapai tonggak sejarah penting dengan peluncuran dua vaksin malaria pertama—RTS,S/AS01E dan R21/Matrix-M—yang dirancang untuk melindungi anak-anak di Afrika dari malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Kedua vaksin ini menargetkan protein parasit yang dikenal sebagai circumsporozoite (CSP) dan direkomendasikan untuk anak-anak berusia 5 bulan ke atas saat dosis pertama diberikan.
"Kami telah mengetahui bahwa vaksin RTS,S/AS01E kurang efektif pada bayi di bawah usia lima bulan, tetapi alasan di balik perbedaan ini masih menjadi perdebatan," jelas Carlota Dobaño, pemimpin kelompok Imunologi Malaria di ISGlobal, yang didukung oleh Yayasan "la Caixa".
Metodologi Penelitian
Untuk menyelidiki fenomena ini, Dobaño dan timnya menganalisis sampel darah dari lebih dari 600 anak (usia 5–17 bulan) dan bayi (usia 6–12 minggu) yang berpartisipasi dalam uji klinis fase 3 RTS,S/AS01E. Menggunakan teknik mikroarray protein, mereka mengukur antibodi terhadap 1.000 antigen P. falciparum sebelum vaksinasi, guna memahami pengaruh paparan malaria dan usia terhadap respons antibodi IgG terhadap vaksin.
"Pendekatan mikroarray ini memungkinkan kami untuk secara akurat mengukur paparan malaria pada tingkat individu, termasuk paparan yang diterima bayi dari ibu mereka serta infeksi masa lalu pada anak-anak yang lebih besar," kata Didac Maciá, peneliti ISGlobal dan penulis utama studi.
Temuan Utama
Analisis menunjukkan bahwa pada anak-anak yang menerima vaksin kontrol, terdapat tanda-tanda "paparan" khas, dengan kadar antibodi yang tinggi pada tiga bulan pertama kehidupan akibat transfer pasif antibodi maternal. Kadar antibodi ini menurun selama tahun pertama kehidupan dan kemudian meningkat seiring infeksi alami.
Pada anak-anak yang divaksinasi dengan RTS,S/AS01E, antibodi dari infeksi alami tidak berpengaruh pada respons vaksin. Namun, pada bayi, tingginya kadar antibodi terhadap P. falciparum, yang mungkin diturunkan dari ibu selama kehamilan, berkorelasi dengan respons vaksin yang menurun. Efek ini sangat signifikan untuk antibodi anti-CSP maternal. Sebaliknya, bayi dengan kadar IgG anti-CSP maternal yang sangat rendah menunjukkan respons vaksin yang serupa dengan anak-anak.
Walaupun mekanisme di balik gangguan oleh antibodi ibu ini belum sepenuhnya dipahami, fenomena serupa telah dicatat pada vaksin lain, seperti vaksin campak.
Implikasi Penelitian
Temuan ini menegaskan bahwa meskipun antibodi anti-CSP ibu memiliki fungsi perlindungan, mereka juga dapat mengganggu efektivitas vaksin. Semakin tinggi tingkat penularan malaria, semakin banyak antibodi yang ditransfer kepada bayi, yang dapat menurunkan efektivitas vaksin.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa bayi di bawah usia lima bulan dapat memperoleh manfaat dari vaksinasi RTS,S atau R21 di daerah dengan penularan malaria rendah, terutama dalam kondisi wabah di daerah bebas malaria atau di antara populasi yang bermigrasi dari daerah dengan penularan rendah.
"Studi kami menyoroti pentingnya mempertimbangkan waktu dan tingkat antibodi malaria ibu untuk meningkatkan kemanjuran vaksin bagi bayi yang paling muda dan rentan," ungkap Gemma Moncunill, peneliti ISGlobal dan salah satu penulis senior studi tersebut.
0 Komentar
Benarkah Ciuman Bisa Menularkan Gluten? Ini Jawaban Ilmiahnya
Ngeri! Kompor Gas di Rumah Bisa Gandakan Risiko Kanker pada Anak, Ini Fakta Mengejutkannya
Ternyata Selama Ini Kita Salah! Makanan yang Dianggap Berbahaya Ini Justru Aman untuk Pencernaan
Operasi Sinus Ini Lebih Cepat, Minim Sakit, dan Efektif Angkat Polip Hidung! Kamu Wajib Tahu!
Makan Sayur & Buah Bisa Jadi Obat? Ilmuwan Temukan Cara “Reset” Usus Setelah Antibiotik!
Obat Kolesterol Ini Nggak Cuma Turunin Angka di Lab, Tapi Juga Bisa Cegah Serangan Jantung!
Efek Mengejutkan Long COVID: Jantung dan Paru-Paru Bisa Rusak Diam-Diam Meski Sudah Sembuh!
Makan Sehat Sejak Kecil Bisa Bikin Menstruasi Datang Lebih Lambat? Ini Fakta Mengejutkannya!
Remaja Aktif Lebih Bahagia? Studi Ini Ungkap Fakta Mengejutkan tentang Olahraga dan Depresi!
Awas! Plastik Mikro Kini Bersarang di Pembuluh Darah Kita dan Bisa Picu Stroke Diam-Diam!
Leave a comment