Makin Banyak Anak Terkena Campak, Padahal Vaksin Sudah Ada Sejak Lama! Kok Bisa?

19 Mei 2025 14:57
Penulis: Alamsyah, lifestyle
Dalam setahun terakhir, kasus campak melonjak tajam, terutama di kalangan anak-anak yang belum divaksinasi.

Sahabat.com - Meski sudah ada vaksin campak yang terbukti aman dan efektif sejak tahun 1963, penyakit ini kembali menghantui banyak negara, termasuk negara-negara maju. 

Dalam setahun terakhir, kasus campak melonjak tajam, terutama di kalangan anak-anak yang belum divaksinasi. 

Padahal, campak itu sangat menular dan bisa menyebabkan komplikasi serius seperti pneumonia dan radang otak. Anak-anak di bawah lima tahun, terutama yang belum divaksin, jadi kelompok paling rentan.

Contohnya, di Eropa tercatat lebih dari 35.000 kasus campak selama 2024, dan 87% dari penderita ternyata belum divaksin. Di Amerika Serikat sendiri, per Maret 2025, sudah ada lebih dari 220 kasus, dengan sepertiganya menyerang anak-anak balita. 
Bahkan di Rumania, 22 dari 23 kematian akibat campak terjadi pada anak di bawah lima tahun. 

Penyebarannya juga kerap terjadi di komunitas-komunitas tertutup atau yang tingkat vaksinasinya rendah.

Tapi kenapa bisa muncul lagi ya, penyakit yang seharusnya bisa dicegah ini? Jawabannya: banyak orang yang masih ragu atau bahkan menolak vaksin. Ini bukan karena vaksinnya nggak ampuh, tapi karena informasi yang salah terus beredar, terutama lewat media sosial. 

Banyak orang masih percaya mitos bahwa vaksin MMR (campak, gondongan, rubella) bisa menyebabkan autisme, padahal itu sudah lama dibantah oleh ilmuwan. 
Sayangnya, hoaks seperti ini menyebar jauh lebih cepat dibanding edukasi dari tenaga kesehatan.

Dr. Adam Ratner dari New York University bilang, “Campak itu salah satu penyakit paling menular yang pernah ada, tapi sepenuhnya bisa dicegah lewat vaksin. Sayangnya, kalau seseorang belum atau hanya sebagian divaksin, risikonya bisa fatal—terutama bagi anak-anak.”

Selain membahayakan kesehatan, wabah campak juga bikin sistem kesehatan kelimpungan. Bayangkan, untuk menangani satu wabah saja bisa makan biaya antara Rp750 juta sampai Rp2 miliar! Biaya itu termasuk pelacakan kontak, vaksinasi darurat, hingga perawatan pasien. Waktu dan tenaga petugas kesehatan pun terkuras habis. 

Bahkan di New York tahun 2019, biaya penanganan wabah campak tembus lebih dari Rp130 miliar. Uang sebanyak itu sebenarnya bisa dipakai untuk pencegahan lewat vaksinasi rutin.

Lalu, gimana caranya kita bisa keluar dari krisis ini? Banyak negara mulai gencar melakukan vaksinasi massal dan mencabut izin pengecualian vaksin di sekolah-sekolah. 

Misalnya, setelah terjadi wabah yang terkait dengan Disneyland, pemerintah California langsung memberlakukan aturan baru yang bikin angka vaksinasi naik drastis. Kampanye edukasi yang dikemas dengan menarik, bahkan sampai masuk ke sekolah dan media sosial, juga jadi cara untuk melawan hoaks yang menyebar di masyarakat.

Harapannya, makin banyak orang yang sadar pentingnya vaksinasi, bukan cuma untuk diri sendiri, tapi juga untuk melindungi orang-orang di sekitarnya yang belum bisa divaksin—seperti bayi, ibu hamil, atau orang dengan sistem kekebalan tubuh lemah.
Ke depan, dibutuhkan pendekatan yang lebih luas dan menyeluruh. 

Edukasi tentang pentingnya vaksin harus terus dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Teknologi juga bisa membantu, misalnya lewat inovasi seperti "microarray patch" yang memungkinkan vaksinasi tanpa jarum suntik. 

Dan tentu saja, kerja sama global untuk pemantauan penyakit dan tanggap darurat sangat penting untuk mencegah wabah campak menyebar lebih luas.

Jadi, sahabat, kalau kamu belum vaksin atau belum ajak anak, keponakan, dan adikmu vaksin campak—yuk, jangan ditunda lagi. Campak itu bukan penyakit sepele. Tapi kabar baiknya: kita bisa cegah dengan satu langkah sederhana—vaksinasi.

0 Komentar

Berita Terkait

Leave a comment